Masjid Agung Baiturrahim Singkil


Masjid Baiturrahim berada di Pusat Kota Singkil, Ibukota Kabupaten Aceh Singkil, merupakan Masjid pertama dan tertua. Sebelumnya masjid ini bernama Masjid Jamik Baiturrahim yang dibangun di Singkil lama pada tahun 1256 H/1836 M, lalu dipindahkan ke Singkil Baru pada tahun 1909. Di masa Kolonial Belanda, masjid ini sempat direnovasi, lalu pada tahun 1953 diperluas. Semula masjid ini berukuran 17 x 17 m dengan satu kubah, setelah mengalami perluasan ukurannya menjadi 20 x 30 m dan ditambah satu kubah kecil di sebelah timur.
Gempa bumi dan gelombang pasang tanggal 28 maret 2005 telah menjadikan masjid ini mengalami keru-sakan berat. Untuk memperbaikinya pada tanggal 7 Mai 2005 telah dibentuk Panitia Pembangunan Masjid Baiturrahim yang bertugas untuk merehab masjid yang rusak agar bisa dipergunakan sekaligus merencanakan pem-bangunan masjid baru sebagai pengganti masjid yang rusak. Desain bangunan baru Masjid berukuran
37 x 37 m dengan 4 menara tinggi, 4 menara kecil dan satu kubah besar serta 4 Qubah kecil. Kubah besar dan atap serta ornamennya diupayakan mirip dengan masjid yang dibangun tahun 1909.

Periode Singkil Lama/Lost City (1512-1883)
Seorang ilmuwan berkebangsaan Portugis mencatat tentang kerajaan Chinguelle/Quinchell/Singkil yang berbatas di sebelah barat dengan kerajaan Mancopa/Daya/Meulaboh sedangkan sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Barus. Kerajaan ini merupakan penghasil kampher (kapur), damar, sutera, lada, dan emas yang diangkut dengan lencara (perahu) sebagai alat transportasi di sepanjang aliran sungai dan laut. Kala itu Raja Singkil masih menganut agama pelbegu (animisme). Nama Singkil juga sudah ada di dalam peta Petrus Plancius tahun 1592 M (Monumenta Carthographico, jilid II), di mana kerajaan Singkil telah mengadakan perdagangan dengan kerajaan Pasai, Barus, Tiku dan Pariaman, bahkan sampai ke Penang, Persia dan Jazirah Arab. Dari hubungan dagang ini, para pedagang Arab muslim membawa ajaran Islam yang mampu membuka mata hati dan pikiran Raja serta Rakyat Singkil untuk sedikit demi sedikit meninggalkan kepercayaan lama, beralih kepada ajaran yang lurus (Islam). Sedikit demi sedikit ajaran Islam berhasil mengikis habis kebiasaan orang Singkil pedalaman yang memakan daging manusia, terutama musuh. Setelah Islam tersebar di seantero Kerajaan Singkil, baik pesisir maupun pedalaman, lahirlah kemudian tokoh-tokoh ulama dari kalangan anak negeri. Salah seorang ulama kelahiran Singkil adalah Abdurrauf (Syech Abdurrauf al-Singkili), lahir sekitar tahun 1615 di Suro (Singkil) dan meninggal tahun 1693. Islam dengan cepat menyebar sehingga mengubur dalam-dalam segala bentuk khurafat dan dogma yang menuhankan selain Allah Swt.
Seiring dengan pertumbuhan Islam, ketersediaan rumah ibadah pun menjadi tuntutan masyarakat. Pada tahun 1256 H/1836 M, Raja Singkil bersama rakyat membangun mesjid pertama di ibukota kerajaan Singkil (Singkil lama) dengan nama Masjid Jamik Baiturrahim. Konstruksinya dibangun dengan bahan kayu kapur, meranti laut, atap daun rumbia dan ijuk. Namun Informasi tentang masjid ini dalam catatan sejarah sangat sulit ditelusuri, apalagi Singkil lama sempat porak poranda di hantam gempa bumi dan tsunami (geloro laut) pada tahun 1883 M. Peristiwa ini terjadi berbarengan dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda yang memporak porandakan segalanya. Dari itu kita hanya bisa berasumsi bahwa raja di Kerajaan Singkil telah mengadopsi sistem pemerintahan Islam sesuai perkembangan kala itu. Tentunya kenyataan ini meniscayakan dibangunnya sebuah masjid induk sebagai tempat beribadah dan kegiatan kemasyarakatan lainnya, baik yang bersifat keagamaan maupun agenda kerajaan.

Periode Singkil Baru (New Singkil, tahun 1883-sekarang)
Orang Singkil tidak patah arang menghadapi bencana, maka atas titah raja, secara berangsur-angsur penduduk Singkil hijrah ke daerah baru (Singkil sekarang/Pondok Barö). Di tempat yang baru ini mereka memulai kehidupan dengan moto: “Selagi esok matahari masih terbit kehidupan akan terus berlangsung”. Di pusat Kota Singkil ini (Singkil Baru), juga dibangun sebuah masjid dengan nama yang lama, Masjid Jamik Baiturrahim.
Kehidupan di Singkil mengalami perubahan dengan datangnya Kolonial Belanda yang menyebut Singkil sebagai New Singkil (Singkil baru). Di tengah kesibukan menata kehidupan baru pasca gempa bumi dan tsunami, rakyat Singkil dihadapkan kepada tantangan invasi penjajahan. Setelah berhasil menguasai daratan Singkil, Belanda dengan kontrolir yang bernama Inggram, menguras hasil bumi Singkil dengan jalan kekerasan di bawah kepulan asap mesiu. Selain itu, masyarakat Singkil juga menghadapi tantangan pendangkalan akidah oleh misionaris dengan iming-iming kekayaan dan jabatan. Masih dalam masa penjajahan Belanda, pada tahun 1328 H/1909 M, atas gagasan Perkasa Raja Singkil, Datuk Abdurrauf bersama rakyat membangun masjid yang lebih besar, menggantikan masjid lama yang tidak memadai lagi menampung jamaah. Masjid tersebut dibangun di sebelah timur rumah datuk dengan konstruksi bangunan dari kayu kapur, rasak, meranti, beratap seng, dan lantai beton. Masjid ini telah menggunakan kubah sebagai bagiannya, untuk menopang kubah, ditengah masjid didirikan sebuah tiang beton.
Arsitektur masjid, dekorasi, serta ornamen interior dan eksterior dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi berciri disain Timur Tengah dan Melayu Kuno. Bersamaan dengan pembangunan masjid dibangun pula sebuah sumur bor di perkarangan masjid untuk kebutuhan bersuci. Sampai saat ini sumur bor tersebut masih berfungsi dengan baik walau sudah berusia lebih dari 100 tahun. Untuk melindungi rakyat dan Islam serta masjid yang ada, Datuk Besar Singkil memainkan peran politiknya. Dalam hal perdagangan dan pemerintahan, ia bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial Belanda di bawah bendera VOC, namun dalam hal urusan keagamaan, beliau meneguhkan prinsip saling menghargai satu sama lain. Syarat yang ditawarkan antara lain Pemerintah Kolonial Belanda dibolehkan membangun sarana dan fasilitas yang mereka butuhkan secara bebas, tapi konpensasinya, tidak boleh membangun fasilitas rumah ibadah (gereja). Maka dibangunlah tangsi (barak militer), pelabuhan, rumah sakit, sarana telepon, dan fasilitas lainnya termasuk kantor pos yang megah di kawasan perkantoran pemerintah yang menghadap ke laut.
Butir lain yang ditawarkan untuk disepakati Pemerintah Kolonial Belanda adalah kebebasan beragama. Rakyat Singkil harus diberikan kebebasan melaksanakan kegiatan keagamaan, baik ibadah maupun bersifat kemasyarakatan di masjid tanpa ada intervensi dan intimidasi dari pihak Pemerintah Belanda. Oleh karena itu, keberadaan masjid ini sebagai pusat kegiatan masyarakat tidak terusik sepanjang keberadaannya.
Dalam perjalanan sejarahnya, masjid ini telah mampu memberikan spirit kepada masyarakat Singkil dalam membangun negerinya, upaya melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan dan ketidakadilan. Lebih dari itu, secara diam-diam masjid ini telah dipergunakan untuk mengatur strategi melawan penjajah.
Pada saat kepemimpinan Datuk Abdul Murad, putra Datuk Abdurrauf, kepengurusan Masjid Jamik Baiturrahim dipimpin oleh H. Abdul Malik (Imam Pulo Pinang) sebagai imam, dan H. Umar sebagai khatib. Pada tahun 1942, saat Kepala Nagari dijabat oleh Aminuddin Sagu, kepengurusan masjid ini dipimpin oleh Imam Abdullah dengan dibantu oleh Imam Ilyas. Adapun jabatan khatib masjid dijabat oleh Khatib Ahmad.
Di era kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Singkil telah mengalami beberapa kali perubahan status, mulai dari kewedanaan hingga kabupaten. Namun status dan fungsi Masjid Baiturrahim tidak pernah berubah. Masjid ini tetap berfungsi sebagai masjid pemerintahan yang sangat berjasa dalam melahirkan dan mengisi pembangunan di negeri yang diberi nama Aceh Singkil ini. Pada tahun 1968, jabatan imam Masjid Baiturrahim dipegang oleh Imam Syahmuddin, Khatib Ahmad, dan Bilal M. Amin. Sewaktu Khatib Ahmad meninggal, jabatan khatib diganti oleh M. Amin, dan jabatan bilal dipegang oleh Bilal Badaruddin. Pada tahun 1994, Imam Syahmuddin meninggal dunia, lalu digantikan oleh Imam Badri Amin, adapun khatib dijabat oleh Khatib Abd. Salam AK. Sementara itu jabatan nazir masjid dari dulu sampai sekarang yang diketahui adalah tokoh berikut:
M. Ya’kub
M. Yahya
Akmal Bakti
M. Rabet
M. Bahar
Abd Halim
Amiruddin. S

Sumber : Buku Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh, diterbitkan oleh Bidang Penamas Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh, 2009